Wednesday, September 18, 2013
Informasi dari Garrick Wirawan
Sumber
Inilah Sejarah Gelap Para Paus
OLeh: Dr. Adian Husaini
“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah
judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok
Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda
Ralph Lewis dengan judul
Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.
“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat
berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang,
buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai
pendeta’. (hal.9)
Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam
buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup
terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya
juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes
XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki
pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi
Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan
perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor
III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan
tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus,
lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya
saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak
homoseksual dan bestialitas.
Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya
soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan
harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara
itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.
Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus
Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan
terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam
penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci
Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama
Marozia yang baru berusia 15 tahun.
Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius
dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI,
sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki
anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas,
mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika
perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas
ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di
atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat
pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”
Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku
ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan
kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan
kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi).
Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen
Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa
Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang
dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda
Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja
menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang
mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori
yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus
Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang
berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam
daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja.
Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena
mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran
Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.
Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang
Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa
Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo
pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah
dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai
hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia
dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari
1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal
dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes
Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan
Galileo.
Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya
yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah
Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon
menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel
Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri
dalam biara mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu
tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka.
Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat
penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan
tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya
gila.
Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah,
sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu
mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan
biara tersebut.
Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada
munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat
menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus
dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat.
Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka
hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah
Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas
istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak
istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat
kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang
bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga
berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak
heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang
dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi
Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam,
sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa
pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah:
“Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda
jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di
depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah
yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan
antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama
dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama
haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi
dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci
sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar
terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata
“religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama
Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang
diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh
Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus
menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja
sudah tergoyangkan.
Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para
pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan
antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak
percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah
terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri –
sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya,
maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para
ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti –
baik selebriti seni maupun politik.
Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga
menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak
dapat memegang amanah — sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan
kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian
– maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai
mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama
sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga
akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama
tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit
dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM Sumber
Labels:Informasi
Garrick Wirawan
Blog ini bukan untuk berdebat, tapi blog ini adalah dokumentasi bantahan atas fitnah-fitnah salibis terhadap ISLAM yang Di dokumentasi dari berbagai sumber
Facebook Garrick
Labels
- Hot News (11)
- Informasi (107)
- Kisah Mualaf (32)
- Menjawab Fitnah (46)
Online
Online