Thursday, August 29, 2013
Dokumentasi Menjawab Fitnah Salibis



Kata Inkuisisi berasal dari bahasa Latin inquirere yang berarti memeriksa atau meneliti. Inkuisisi adalah suatu badan Gereja Katolik Roma untuk mengusut dan menghukum kaum bidat. Istilah ini juga dapat bermakna tribunal gerejawi atau lembaga dalam Gereja Katolik Roma yang bertugas melawan ajaran sesat, atau pengadilan atas seseorang yang didakwa bidat.

Pada abad ke-12, untuk melawan penyebaran Katarisme, faham yang mengajarkan segala sesuatu yang bersifat materi adalah jahat. Bumi dan segala isinya yang bersifat materi bukan ciptaan Allah. Gereja Katolik menugaskan dewan yang beranggotakan para uskup dan uskup agung untuk melaksanakan inkuisisi.

Pada abad ke-13, Sri Paus memberikan tugas melaksanakan inkuisisi kepada Ordo Dominikan. Para inkuisitor bertindak atas nama dan dengan otoritas penuh Sri Paus. Mereka menggunakan prosedur-prosedur inkuisisi, sebuah praktek hukum yang umum pada masa itu. Mereka mengadili bidat sendirian, dengan memanfaatkan penguasa-penguasa setempat untuk mendirikan sebuah tribunal dan untuk mengeksekusi penganut ajaran sesat.

Sesudah akhir abad ke-15, seorang Inkuisitor Agung mengepalai tiap inkuisisi. Inkuisisi dalam cara ini bertahan sampai abad ke-19. Inkuisisi kemudian digantikan menjadi Kongregasi Doktrin Iman, pada 1965. Gereja Katolik Roma menggunakan nama ini sampai sekarang.

Dalam catatan sejarah, inkuisisi bukan hanya dilakukan oleh Gereja Katolik Roma, tapi juga kaum Protestan. Pada musim gugur di tahun 1553. Michael Servetus, asal Spanyol, dihukum mati di Bukit Champel, di selatan Kota Jenewa. Ia diikat ke sebuah tiang, dan dibakar pelan-pelan.

Servetus lahir di Villanueva, Spanyol, sekitar tahun 1511. Ia bermula belajar ilmu hukum di Toulouse, Perancis. Di sini ia mempelajari Injil. Di tahun 1531 ia menerbitkan bukunya, "De Trinitatis erroribus libri vii". Ia mengemukakan bahwa inilah arti Yesus sebagai "Putra Allah": Allah Bapa menghembuskan Logos ke dalam dirinya, tapi Sang Putra tak setara dengan Sang Bapa (The Story of Civilization, Vol 6, Will Drant). Bagi Servetus, Yesus dikirim oleh Sang Bapa dengan cara yang tak berbeda seperti salah seorang nabi. Buku itu membuat amarah para imam Katolik dan pemimpin Protestan sekaligus.

Di tahun 1532, Servetus buru-buru pindah ke Perancis. Tapi di sana ia dihadang. Badan Inkuisisi Gereja Katolik mengeluarkan surat perintah penangkapan. Servetus lari lagi ke Wina, dengan nama samaran Michel de Villeneuve. Selama itu ia berhasil menguasai ilmu kedokteran, tetapi ia selalu ingin mengemukakan pendapatnya tentang agama. Di tahun 1546 ia menyelesaikan "Christianismi Restitutio", dan mengirim naskahnya ke John Calvin. Mungkin ia ingin menunjukkan oposisinya terhadap tafsiran Calvin atas Injil. Bagi Servetus, Tuhan tak menakdirkan jiwa manusia ke neraka. Baginya, Tuhan tak menghukum orang yang tak menghukum dirinya sendiri. Iman itu baik, tetapi cinta kasih lebih baik. Calvin tak melayani Servetus. Ia hanya mengirimkan karyanya, "Christianae religionis institutio". Servetus pun mengembalikannya dengan disertai catatan yang penuh hinaan, disusul dengan serangkaian surat yang mencemooh. Calvin tak bisa memaafkan cercaan ini.

Orang Protestan, yang memberitahu inkuisitor di Perancis tentang tempat bersembunyi Servetus. Kerja sama Protestan-Katolik yang tak lazim ini yang akhirnya membuat Servetus tertangkap di Wina. Ia berhasil melarikan diri. Tapi nasibnya sudah diputuskan, pengadilan sipil Wina memvonisnya dengan hukuman bakar bila tertangkap. Anehnya ia lari ke Jenewa, tempat kaum Protestan berkuasa. Mungkin Servetus berpikir orang Protestan akan lebih toleran dibandingkan Katolik. Tapi tidak. Ia dibakar hidup-hidup di tempat mayoritas Protestan.
(Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, 20 Februari 1993)


Kesaksian Kolonel Limonsky
(Fakta Kekejaman Dewan Inkuisisi Gereja Spanyol terhadap Umat Islam Andalusia)

Kolonel Limonsky, salah seorang perwira Prancis yang berkunjung ke Spanyol mengungkapkan :

Pada tahun 1809, demikian awal pengunkapannya, Aku bersama pasukan Perancis berperang melawan Spanyol. Aku bersama anak buah berhasil menguasai Madrid, Ibukota Spanyol. Napoleon pada tahun 1809 menginstruksikan kepada kami untuk melikuidir seluruh Dewan Inkuisis di kerajaan Spanyol itu. Tetapi perintah tersebut tidak kami laksanakan mengingat suasana perang berkecamuk dan kondisi politik saat itu tidak menentu.

Kondisi semacam itu dimanfaatkan para rahib Yesuit. Mereka bergabung dengan Dewan dan berkeras membunuh dan menyiksa tentara-tentara Perancis yang tertangkap. Inilah reaksi mereka atas instruksi Napoleon. Disamping mereka bertujuan menakuti orang-orang Perancis, agar secepatnya kami meninggalkan negeri mereka.

Suatu malam, sekitar jam 10 malam, aku berjalan di suatu jalan di Madrid. Jalan tersebut sunyi dari lalu lalang orang. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh serbuan orang yang bersenjata. Dua orang tersebut rupanya hendak membunuhku. Aku membela diri sekuatnya. Kemudian datanglah pasukan jaga malam Perancis yang berkuda membawa lentera. Mereka bertugas menjaga keamanan seluruh kota. Pasukan itulah yang menyelamatkan aku.

Ketika melihat bahwa yang datang adalah pasukan Perancis, dua penyerangku lari. Tampak jelas dalam penglihatanku, mereka pasukan dari Dewan Inkuisisi melihat dari seragam yang mereka kenakan.

Atas kejadian itu secepatnya aku menemui Marskal Sault, Penguasa militer Madrid saat itu. Kujelaskan semua yang terjadi. Marskal marah besar. Katanya : “Aku sudah menduga, tidak salah lagi bahwa yang sering membunuh tentara Perancis dimalam hari adalah kelompok penjahat Dewan Inkuisisi. Kita harus segera bertindak, melaksanakan instruksi imperium. Sekaranga tentara beserta empat buah meriam untuk menghancurkan secepatnya markas Dewan Inkuisisi. Tangkaplah semua intel rahib itu. Kalau anda menemui fakta-fakta kejahatannya, seretlah segera para penjahat itu ke pengadilan militer!”

Biara Dewan Inkuisisi

Pada jam empat pagi, aku membawa pasukan menuju ke biara Dewan Inkuisisi. Letak tempat ini lima mil dari kota Madrid. Para rahib yang berada dalam biara ini sebelumnya tak mengetahui sama sekali bahwa biaranya telah dikepung tentara dan meriam.

Kulihat biara itu sebuah bangunan yang amat besar, menyerupai benteng. Dinding-dinding yang tinggi mengelilingi, dan senantiasa dijaga pasukan Yesuit. Di pintu biara itu aku berbicara kepada penjaga yang berdiri di atas dinding. Dinding itu kuperkirakan sangat mahal,benar-benar mengkilap, menakjubkan. Tiap sudut kucium bau wewengian. Ruangan ini pantas menjadi istana raja yang kaya lagi boros. Aku tahu, bau wewangian itu berasal dari lampu lilin yang terus menyala di depan lukisan-lukisan gerombolan dewan inkusisi dan Yesuit. Lilin itu rupanya dioleh dengan campuran mawar sehingga harum.

Kami hampir gagal menemukan aula-aula penyiksaan yang sedang kami cari. Kami teliti satu persatu kamar-kamar dan semua ruangan yang ada. Tidak ada satu tanda pun yang menunjukkan adanya ruang penyiksaan. Sehingga kami memutuskan untuk keluar dari biara itu dan membawa orang yang menyerang itu ke mahkamah militer dengan tuduhan melawan. Semua orang yang kami temui bersumpah bahwa tuduhan tentang penyiksaan itu bohong. Omong kosong belaka. Itu semua hanya suatu taktik untuk memfitnah perjuangan suci yang kami lakukan, demikian kilahnya.

Pemimpin mereka menandaskan dengan kalimat yang halus seraya menundukkan kepala dan diiringi tangis buaya. Pemandangan ini sungguh hampir menipu kami.

Para prajurit telah kuinstruksikan untuk siap-siap meninggalkan biara. Tiba-tiba Letnan De Leyle memohon kepadaku. Katanya, “Wahai Kolonel, sebenarnya tugas kita belum selesai.”

“Bukankah seluruh biara ini telah kau periksa Letna?!” sanggahku.

“Benar, kita telah memeriksa. Tetapi aku masih penasaran untuk mengetahui apa di balik lantai ruangan ini. Akan kuperiksa seteliti mungkin. Suara hatiku mengatakan, bahwa rahasia dibalik lantai ini. Ruangan-ruangan yang bagus ini menutupi tempat yang kita cari,” tegas Letnan De Leyle.

Mendegar penjelasan Letnan De Leyle, para rahib tampak gelisah, saling memandang satu sama lain.

Kolonel akhirnya mengizinkan permohonan Letan De Leyle menelusuri tempat penyiksaan.

Semua anggota pasukan diperintah mengangkat permadani yang menutupi seluruh lantai itu. Lalu mengambil air unttuk diguyurkan pada setiap ruangan dan kamar. Ternyata air itu merembet ke dalam. dengan cepat air itu habis kebawah. De Leyle menepuk tangannya dengan amat gembira atas temuannya ini.

“Ini dia!” serunya, “ini dia pintunya!” teriaknya lagi. “Lihat! Pintunya telah kita temukan!”

Kuperintahkan atas nama Kaisar Napoleon untuk segera membuka pintu gerbang. Kulihat penjaga iut menoleh kebelakang berbicara kepada kami yang tidak melihatnya. Kami dikejutkan dengan bedil. Mereka menhujani peluru sementara iut diluar kesiapan kami menghadapinya. Beberapa anak buahku terbunuh, sebagian luka-luka. Segera kuperintahkan kepada pasukan untuk menyerbu biara karena mereka menembak dari arah yesuit. Pintu gerbang terus dipertahankan dengan kekuatan. Terjadilah tembak menembak secara sengit di lokasi pintu gerbang . Kami membalas dengan hujaman peluru meriam ke arah tembok dan pintu gerbang. Pasukan kami terus nekad mendekati benteng dengan memakai perisai yang tebal untuk menahan peluru dari pasukan Inkuisisi.

Setengah jam pertempuran itu berlangsung dan tembok benteng itu rontok sebagian. Sesepatnya anggota pasukan dan perwira-perwira kami masuk ke biara.

Gerombolan Yesuit

Tetapi anehnya para rahib Yesuit menyongsong kami dengan penampakan yang amat gembira. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mereka bahkan memarahi pasukannya yang menembaki kami. Saya tahu, keramahan mereka hanyalah pura-pura. Karena itu saya tidak mengulur waktu laig untuk segera menangkap para uskup, rahib, juga pasukannya yang munafik iut untuk segera dihadapkan ke pengadilan militer.

Kami masuk kedalam untuk melacak tempat penyiksaan yang terkenal sangat kejam dan mendirikan bulu roma. Alat penyiksaan yang mereka gunakan sangat menakutkan.

Terus berputar mengelilingi tiap ruangan. Tanpa benda-benda yang berada di dalamnya sangat luks. Permadani yang digelar berasal dari Persia, ada kursi malas, lukisan-lukisan langka yang mahal, meja dan perpustakaan yang amat besar. Lantainya terbuat dari bahan kayu dan dapat terbuka secara otomatis bila tombol yang berada dibawah meja kepala inkuisisi itu di injak.

Dengan popor bedil, pintu ajaib itu berhasil kami buka. Gerombolan yesuit wajahnya pucat pasi. Kami semakin memperketat penjagaan sehingga mereka semakin ketakutan.

Di bawah pintu rahasia itu terdapat tangga untuk menuju riang bawah lantai. Secepatnya aku mengambil lilin besar yang panjangnya lebih dari sat meter. Kunyalakan dan terlihat di ruang iut lukisan para pemimpin Dewan Inkuisisi dan Dewan Qudus. Saat aku hendak menuruni tangga, salah seorang pastur menepuk bahuku dengan halus seraya menegurku, “Kuharap wahai anakku, jangan bawa lilin itu dengan tanganmu yang sudah berlumuran darah. Karena lilin itu lilin suci.”

“Itu benar…” jawabku ketus, “memang tanganku tidak layak dinajisi oleh lilin kalian yang justru berlumuran darah orang-orang yang tak bersalah. Akan kita saksikan nanti siapa yang najis dan pembuhuh darah dingin yang sebenarnya di antara kita!” ketusku.

Aula peradilan dan singgasana keagamaan

Aku menuruni tanggal itu diikuti para perwira lainnya juga anak buah yang membawa persenjataan. Kudapati ruang besar persegi empat. Mereka menyebut ruang pengadilan. Di tengah ruang itu terpancang sebuah tiang marmer dan untaian rantai besia. Rantai itu untuk mengikat mangsanya saat diadili.

Berhadapan dengan aula adalah sebuah ‘singgasana keagamaan’ demikian mereka menyebut. Terdapat sebuah bangku yang tinggi sebagai tempat duduk kepala dewan inkuisisi. Sebelahnya juga ada bangku-bangku untuk anggota mahkamah letaknya lebih rendah dari tempat kepala dewan.

Kamar Penyiksaan

Kami melanjutkan langkah, sampailah kami di tempat penyiksaan. Kamar-kamarnya luas sekali dan meliputi semua ruang yang ada di bawah. Kami semua menahan nafas demi melihat alat-alat penyiksaan. Bulu roma kami tegak berdiri. Alat-alat yang terpampang di situ sunggu mengerikan.

Di bawahnya terdapat ruangan – ruangan kecil seukuran tubuh manusia. Bahkan ada yang hanya bisa berdiri saja, atau jongkok saja. Nara pidana yang diselkan di situ tentu hanya dapat berdiri atau jongkok untuk selamanya hingga mati dalam posisi seperti itu juga. Mayat – mayat yang ada di situ dibiarkan hingga dagingnya terpisah dari tulangnya.

Untuk menghilangkan bau mayat, mereka membuat sebuah lubang kecil sebagai tempat udara keluar. Saat itu kami menemukan beberapa mayat yang tinggal kerangka dalam keadaan terbelenggu lantai. Mereka terdiri dari wanita dan laki – laki yang usiannya berkisar antara empat belas tahun hingga tujuh puluh tahun.

Selanjutnya atas pelacakan ini, kami berhasil membebaskan beberapa tahanan dari belenggu. Keadaan diri mereka sebagian ada yang sudah tak tertolong, tak bisa hidup lama lagi. Sebab fisik dan mentalnya sudah hancur oleh siksaan – siksaan yang teramat tajam.

Para tawanan itu telanjang bulat hingga terpaksa anak buah kami melepaskan bajunya untuk dikenakan pada tawanan wanita. Kami bawa mereka ke tempat terang agar penglihatan tidak rusak. Atas terlepasnya dari belenggu mengerikan itu, mereka menangis lalu menciumi tangan dan kaki tentara kami. Mereka berterima kasih atas selamatnya diri mereka dari siksa maut dewan inkuisisi.

Alat – Alat Penyiksaan

Kami melanjutkan pelacakan. Langkah kami menuju ke ruang tempat di simpannya alat-alat penyiksa. Kami temukan alat pemecah tulang dan peremuk tubuh. Rupanya mereka memulai dengan tulang kaki lalu tulang dada, kepala dan kedua tangan. Semuanya itu dilakukan secara berurutan. Sehingga dari alat itu setelah semua dilakukan, daging tawanan akan keluar teronggok – onggok.

Ada lagi sebuah peti sekuruan kepala orang. Alat ini diletakkan di kepala setelah kaki dan tangan dirantai. Bila sudah diikat demikian, bagaimana sang buruan ini bisa bergerak? Di atas kepala pada peti itu terdapat lubang untuk tempat air menetes, air yang dingin dan aka terus-menerus menetesi kepala. Banyak tawanan menjadi gila karena kepalanya disiksa dengan tetes air secara terus menerus. Dibiarkan sang tawanan mengaduh hingga mereka puas menyaksikan kematiannya.

Lagi, kami lihat alat – alat peniyksa ketiksa yang disebut gambar wanita cantik. Bentuk alat ini adalah tabut (tabelo, peti mati) yang desainya seperti wanita cantik sedang tidur. Posisinya bagai siap di senggama. Di seluruh dinding tabut itu di tancapkan pisau – pisau tajam. Seorang pemuda yang akan di siksa, disuruh menempatkan diri pada tabut itu kemudian ditutup dengan paksa. Padahal penutupnya terdapat pisau-pisau yang siap menancap pada tubuh si korban. Tubuh sang pemuda yang menjadi korban itupun tersincang seprti pergedel.

Kami temukan alat – alat penyakat lidah, perobek dada dan pencopot buah dada. Alat pencabut itu bentuk seperti catut dari besi yang tajam. Cemeti dari besi berduri adalah alat untuk mencambuk tubuh. Mereka mencambuk sampai tubuh korban antara tulang dan dagingnya terpisah.

Berita penyerbuan tentara Perancis ke biara Dewan Inkuisisi telah sampai ke Madrid. Datang berduyun – duyun massa untuk menyaksikan secara langsung tempat penyiksaan itu. Sungguh laiknya hari kiamat saja.

Ketika masa menyaksikan berbagai bentuk penyiksaan dengan penyaksian sendiri, amarahnya meluap bagai kesetanan. Mereka segara menangkap kepala Yesuit dan memasukkannya ke alat penghancur tubuh dan tulang tanpa kasihan lagi. Sedang sekretarisnya di masukkan ke peti yang berbentuk tubuh wanita. Pintunya ditutup dengan keras, hingga tubuhnya tersayat – sayat. Bahkan massa menambahkan lagi sisksaan sebagai luapan dendam. Tubuh Kepala Yesuit dan sekretarisnya dikeluarkan dari alat siksa itu untuk dimasukkan secara ganti – gati ke alat siksa lainnya. Massa memperlakukan tokoh bengis itu sebagaimana tokoh – tokoh itu memperlakukan orang – orang tidak berdosa.

Dalam waktu relatif singkat, massa berhasil membantai sejumlah tiga belas pastur Dewan Inkuisisi. Lalu mereka merampas barang yang ada di biara itu. Dalam pelacakan terakhir kami temukan daftar orang kaya yang masuk dalam buku Dewan. Mereka dijadikan sapi perahan. Bila menolak membayar upeti sebagaimana ditentukan oleh Yesuit, diancam dengan hukum siksaan dan dibunuh dengan alat – alat neraka itu.

Hari Sejarah Terbesar

Aku menganggap bahwa hari penemuan Biara Dewan Inkuisisi sebagai hari bersejarah terbesar yang dapat disaksikan langsung oleh dunia setelah penyerbuan Bastile (penjara Bastile). Betapa tidak, hari itu adalah dimana seorang ayah dapat kembali memeluk anak – anaknya, hari para ibu dapat menciumi kembali putra putrinya setelah melewati penyiksaan – penyiksaan di luar kesanggupan. Peluk dan cium dilampiaskan kepada para tentara yang berhasil menyingkap rahasia biara itu. Bagi wanita yang terperangkap, hari kebebasan ini merupakan hal yang sangat berharga baginya, sebab ia dapat terhindar dari perampsan kehormatan dirinya.

Untuk mengisahkan fakta kekejaman dewan inkuisisi ini rasanya tak cukup dengan penuturan. Sungguh, bila menyaksikan apa yang di perbuat dan apa yang terjadi di biara itu, seolah mustahil terjadi. Bagaimana bisa, manusia berbuat sekejam itu, rasanya setan pun takkan mungkin melakukannnya.

[ sumber : Buku Fakta Pembantaian dan kejahatan Salibis terhadap Umat Islam di Andalusia : Muhammd Quthb]

SUMBER:

BACA JUGA DI SINI:
 

Garrick Wirawan

Blog ini bukan untuk berdebat, tapi blog ini adalah dokumentasi bantahan atas fitnah-fitnah salibis terhadap ISLAM yang Di dokumentasi dari berbagai sumber

Labels

Online

Online

Translate

flagcounter

free counters