Tuesday, September 24, 2013
Informasi dari Garrick Wirawan
Penulis: Carolyn Holderread Heggen; 
Penerbit: BPK Gunung Mulia 2008

Dalam buku ini Carolyn Holderread Heggen dengan sangat jelas mengemukakan bahwa sejarah gereja kita penuh dengan penyangkalan atas pengalaman pelecehan seksual. Kemudian ketika gereja mengakuinya, gereja justru mempermalukan korban yang berani mengungkapkan pelecehan itu.

Pelecehan seksual adalah salah satu tanda paling nyata atas tindakan menguasai dan mengendalikan orang lain. Penyalahgunaan kuasa untuk mengendalikan dan mendominasi orang lain dalam pelecehan semacam itu terkait erat dengan meningkatnya rangsangan erotis bagi si pelaku. Hal ini menciptakan jaringan kekuasaan dan erotisme yang kompleks dan sukar diuraikan. Mengubah perilaku para pelaku pelecehan seksual memang sangat sukar, bahkan kadang-kadang tidak mungkin.



Kekerasan dan pelecehan seksual dalam latar patriarkal dikondisikan untuk bisa diterima, dapat dimaklumi, dan diperbolehkan. Memang ada undang-undang yang menentang pendapat tersebut. Namun, sangat sukar untuk mendapatkan pernyataan bersalah dan pemberian hukuman karena suara yang melawan kekejaman tersebut terutama berasal dari kaum pinggiran, bukan dari pusat. Lepas dari segala usaha terbaik kita, ukuran yang digunakan yaitu bahwa pelecehan seksual laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak merupakan tambahan bagi hak istimewa laki-laki.

Gereja, dulu dan sekarang, menerima dan mengembangkan agenda patriarkal. Dalam pengajaran, praktik, penafsiran, dan khotbahnya, gereja telah mengabaikan ideologi mengenai laki-laki, perempuan dan anak-anak, pada umumnya – khususnya tentang seksualitas dan pelecehan seksual – yang mengokohkan dasar penyebarluasan masalah kekerasan seksual.

Gereja telah mencurahkan waktu, uang, dan sumber daya manusia yang besar selama satu generasi dalam selubung penjatuhan hukuman bagi “dosa homoseksualitas”. Jika sebagai gantinya gereja telah mengidentifikasi dosa pelecehan seksual dan berkomitmen untuk mengubah norma sosial yang mendukungnya, maka kita telah cukup maju dalam upaya untuk memusnahkan pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, homophobia yang bercampur dengan penyangkalan terus-menerus atas pelecehan yang terjadi dan ketidaksediaan untuk membantah hak istimewa laki-laki ini, mengakibatkan gereja tidak dapat memberikan respons yang memadai.

Di dalam dirinya, gereja memiliki sumber-sumber untuk mengemukakan dan melawan pelecehan seksual. Alkitab memberi mandat kepada gereja untuk mendampingi mereka yang menjadi objek kejahatan dan eksploitasi, untuk melindungi “orang-orang kecil”, untuk menawarkan keterbukaan bagi orang-orang yang rapuh, dan membebaskan mereka yang terpenjara oleh belenggu-belenggu peraturan sosial. Pelayanan Yesus terhadap perempuan dan anak-anak merupakan contoh jelas penegakkan keadilan sebagai respons wajar atas ketidakadilan yang menghimpit kaum tertindas.

Buku ini lahir dari perjalanan pemulihan Heggen, dengan tujuan memberikan pengetahuan sekaligus sarana bagi jemaat, pejabat gereja, dan orang awam sehinggap dapat menjadi saluran pemulihan dan anugerah yang efektif bagi para korban, pelaku, atau keluarga dan jemaat yang terluka akibat pelecehan seksual. Heggen berharap bahwa buku ini akan memperlengkapi gereja untuk berusaha mencegah terjadinya pelecehan lebih lanjut dan membangun kehidupan seksual yang sehat.

Para korban pelecehan seksual bukan hanya kaum perempuan. Demikian pula pelaku pelecehan juga bukan hanya kaum laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama-sama dapat menjadi korban, sekaligus pelaku. Meskipun demikian, ada kesepakatan umum di antara para peneliti dan ahli kesehatan jiwa bahwa sebagian besar pelaku adalah laki-laki dan korbannya lebih dominan perempuan.
Heggen mengakui bahwa meski dalam bukunya ini ia lebih fokus kepada laki-laki sebagai pelaku pelecehan seksual dan perempuan sebagai korbannya, banyak juga kaum laki-laki yang menjadi korban pelecehan dan juga menghadapi dampak buruk yang menyakitkan. Namun, sebagai seorang perempuan yang memusatkan perhatian pada perawatan dan penelitian terhadap korban perempuan, Heggen mengambil sikap tidak akan menceritakan pengalaman kaum laki-laki yang menjadi korban. Kisah semacam itu memang perlu dituturkan, tetapi sebaiknya oleh kaum laki-laki sendiri.

Heggen menulis buku ini dengan sebaran topik yang bisa dibaca secara acak, tidak perlu secara kronologis. Meskipun demikian, Heggen mengusulkan agar tidak melewatkan untuk membaca bab 7 (Pertobatan, Ganti Rugi, Pengampunan dan Rekonsiliasi), bab 10 (Mencegah Terjadinya Pelecehan Seksual) dan bab 11 (Peran Jemaat dalam Mengembangkan Hubungan Seksual yang Sehat). Bagi Heggen, buku merupakan milik siapa saja yang berani untuk menghadapi rasa sakit atau kekerasan yang mereka alami pada masa lampau.

 Sumber

PELECEHAN SEKSUAL DALAM KELUARGA KRISTEN DAN GEREJA


Seorang perempuan mengetahui suaminya telah melakukan pelecehan seksual terhadap kedua putrinya. Ia membuat suaminya ditahan agar anak-anaknya terlindung dari kejahatan yang lebih parah. Kemudian ia minta bantuan kepada gereja. Namun, gereja justru mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi mengajar Sekolah Minggu, dan anak-anaknya – yang menjadi korban – tidak bisa lagi mengikuti Sekolah Minggu. Gereja justru tidak berkata apa-apa terhadap suami yang melakukan pelecehan, yang juga anggota gereja tersebut.
Gereja malah menghukum perempuan tersebut karena upayanya melindungi putri-putrinya dari pelecehan sang ayah. Gereja menolak menghadapi dan minta pertanggungjawaban si pelaku.

Bagi setiap pendeta yang berkata, “Tetapi, tidak seorang pun yang pernah datang kepadaku dengan masalah ini!”, ternyata di luar sana ada puluhan korban, orang yang bertahan, dan pelaku yang sungguh membutuhkan pelayanan dari gereja. Baik melalui penyangkalan pasif maupun usaha aktif untuk membungkkm para korban yang bertahan (survivors), gereja mengingkari mandatnya untuk menegakkan keadilan.
(Marie M. Fortune – Kata Pengantar)

Uraian dalam buku yang terdiri dari 11 bab ini diawali dengan arti pelecehan seksual dalam pengertian luas. Pelecehan seksual bukan hanya perkosaan dan kontak fisik, melainkan juga dalam bentuk verbal dan visual. Penulis yang adalah seorang ahli kejiwaan (psikoterapis) khusus korban pelecehan seksual menganalisa cerita dan ungkapan hati yang dituturkan korban kepadanya dalam konseling. Korban pelecehan seksual kerap kali merasa diasingkan dan dibungkam suaranya. Ketika korban telah berbicara, kebanyakan orang justru tidak percaya dan makin diasingkan oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan juga oleh gereja.

Dengan bekal cerita langsung baik dari korban maupun pelaku, penulis menganalisa berbagai dampak pelecehan seksual dan juga sebab yang melatarbelakanginya. Tidak berhenti pada pembahasan tersebut, penulis kemudian menyuguhkan langkah-langkah untuk memulihkan diri korban maupun pelaku sekaligus memulihkan hubungan antara keduanya. Dalam hal ini gereja juga berperan dalam mengembangkan seksualitas yang sehat sehingga pelecehan seksual dapat dicegah, termasuk dalam keluarga Kristen dan gereja.Di Indonesia, apalagi dalam konteks keluarga Kristen dan gereja, belum banyak buku yang membahas pelecehan seksual. Pembahasan buku ini meyakinkan karena ditulis seorang psikoterapis khusus korban pelecehan seksual. Masalah seputar pelecehan seksual secara tajam dikupas penulis dari sisi psikoterapi, pedagogi dan teologi. Bahasanya tegas, namun tidak menghakimi. Mengarahkan, namun tidak mengkhotbahi. Ada pula langkah-langkah konkret yang dapat ditempuh gereja untuk menangani korban dan pelaku pelecehan seksual, serta cara menumbuhkan seksualitas yang sehat sehingga terjadinya pelecehan seksual dapat dicegah.
Sumber

untuk yang mau membaca ebooknya di e book google silah masuk ke sini E BOOK GOOGLE

Garrick Wirawan

Blog ini bukan untuk berdebat, tapi blog ini adalah dokumentasi bantahan atas fitnah-fitnah salibis terhadap ISLAM yang Di dokumentasi dari berbagai sumber

Labels

Online

Online

Translate

flagcounter

free counters