Tuesday, September 17, 2013
Informasi dari Garrick Wirawan
NAMA
saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di
Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17
bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya
sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia
sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti
sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD.
Mulai
saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin
inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku
sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada
usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di
Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari
penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang
dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya
tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta.
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya
hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta
mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan
saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang
saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya
saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu
menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk
memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai
saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya
untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan.
Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya
rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat
itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si
Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya
keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu. (Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam"
Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk Islam
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu. (Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam"
Labels:Kisah Mualaf
Garrick Wirawan
Blog ini bukan untuk berdebat, tapi blog ini adalah dokumentasi bantahan atas fitnah-fitnah salibis terhadap ISLAM yang Di dokumentasi dari berbagai sumber
Facebook Garrick
Labels
- Hot News (11)
- Informasi (107)
- Kisah Mualaf (32)
- Menjawab Fitnah (46)
Online
Online
Translate
My Blog List
Blog Archive
-
▼
2013
(164)
-
▼
September
(115)
-
▼
Sep 17
(31)
- Menjawab tuduhan Soal Allah Berkuasa Menyesatkan M...
- Keluarga Keturunan Tionghoa di Indonesia Kian Terb...
- Mantan Pendeta : Dr Yahya Yopie Waloni Mendapat Hi...
- Muhammad Syafii Antonio,MSc Masuk Islam, Saya Diku...
- Bernard Nababan mantan Pendeta : Ragu pada isi Alk...
- Irene Handono: Menyaksikan ‘Film’ Dirinya Saat Mas...
- Yeanny Suryadi, Mengenal Islam dari Balik Pagar
- Aria Desti Kristiana, Kenapa Tuhan Harus Disalib?
- Rebecca Reijman: Masuk Islam Setelah Mendengar Aya...
- Lidya Pratiwi, Jadi Mu’allaf Setelah Mimpi Ka’bah
- Natalie Sarah: Hidayat Al Fatihah
- Jamilah Kolocotronis, Berusaha Murtadkan Muslim, A...
- Thomas Webber: Masuk Islam Ketika Islam Dituduh Ag...
- Islam di Swedia: Minat Masyarakat Terhadap Islam S...
- Maraknya Siswa Bule Masuk Islam di Sekolah Inggris
- Kisah Nyata: Ketegaran Bara’ah, Gadis Cilik Pengha...
- Rabbi Israel Stress, Banyak Remaja Yahudi Masuk Islam
- Anton Medan : Menemukan Hidayah Di Penjara
- Yudi Mulyana Mantan Pendeta Militan Cirebon
- Dian Sastrowardoyo : Dari hatiku sendiri
- Robin Padilla (Aktor Filipina) : Dari Dunia Gemerl...
- El Manik : Banyak Umat Islam Perlu Di Islamkan Lagi
- Kisah Mualaf Yang Membuat Para Muslim Menjadi Malu
- Cindy Claudia Harahap Hidayah Dari Bulan dan Bintang
- Balada Muhammad Mu'min Mencari Tuhan
- Koko liem Sang Pengembara
- Markus Sang Muallaf Sejak Kecil Sering ke Mesjid
- Thufail al Ghifari Mengenal Islam Melalui Musik Un...
- Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga
- Islam,menjawab berbagai pertanyaan dan ketidakpast...
- Apakah Nabi Muhammad saw sunat?
-
▼
Sep 17
(31)
-
▼
September
(115)