Tuesday, September 17, 2013
Informasi dari Garrick Wirawan
Sumber
Jamilah Kolocotronis, telah melalui jalan berliku untuk akhirnya sampai menjadi seorang Muslim.
Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari
Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justru saat ia menempuh
pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama
Kristen Lutheran yang dianutnya.
Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976.
Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan
untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah
gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di
gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara
piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini,
untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun’im dari
Thailand. “Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami
berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar
Mun’im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang
di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa
bahwa Mun’im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun’im
percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa
mengkristenkan Mun’im.
Jamilah pun mengundang Mun’im datang ke
gereja. Tapi betapa malu hati Jamilah ketika melihat Mun’im datang ke
gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im
berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya
mendengar istilah “Muslim” dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif.
Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa
warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan
kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International,
Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap
berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan
masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era
tahun ’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah
seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun
berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari
Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi
barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi
pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah
merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa
dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk
bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah
menjadi hal yang biasa.
Jamilah makin kecewa ketika seorang
profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa
Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka
tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika
Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta
menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan
seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu
untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima
kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari
rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko
buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk
membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah
berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan
agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah
baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa
mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
“Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan
serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak
menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73.
Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,”
ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke
universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan
agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja,
Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah
mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan
pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan
pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari
teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan
dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah
juga mempelajari agama Budha. “Saya cuma ingin menemukan kebenaran,”
kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah
merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal
yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam
harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena
manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun
pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa
menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan
tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah
masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan,
Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah
pengunjung masjid.
“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi,
tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu
lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas
Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya
Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan
keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi
seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika
ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil
dilaluinya.
Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak
jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School,
Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah
mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika.
Sumber
Labels:Kisah Mualaf
Garrick Wirawan
Blog ini bukan untuk berdebat, tapi blog ini adalah dokumentasi bantahan atas fitnah-fitnah salibis terhadap ISLAM yang Di dokumentasi dari berbagai sumber
Facebook Garrick
Labels
- Hot News (11)
- Informasi (107)
- Kisah Mualaf (32)
- Menjawab Fitnah (46)
Online
Online
Translate
My Blog List
Blog Archive
-
▼
2013
(164)
-
▼
September
(115)
-
▼
Sep 17
(31)
- Menjawab tuduhan Soal Allah Berkuasa Menyesatkan M...
- Keluarga Keturunan Tionghoa di Indonesia Kian Terb...
- Mantan Pendeta : Dr Yahya Yopie Waloni Mendapat Hi...
- Muhammad Syafii Antonio,MSc Masuk Islam, Saya Diku...
- Bernard Nababan mantan Pendeta : Ragu pada isi Alk...
- Irene Handono: Menyaksikan ‘Film’ Dirinya Saat Mas...
- Yeanny Suryadi, Mengenal Islam dari Balik Pagar
- Aria Desti Kristiana, Kenapa Tuhan Harus Disalib?
- Rebecca Reijman: Masuk Islam Setelah Mendengar Aya...
- Lidya Pratiwi, Jadi Mu’allaf Setelah Mimpi Ka’bah
- Natalie Sarah: Hidayat Al Fatihah
- Jamilah Kolocotronis, Berusaha Murtadkan Muslim, A...
- Thomas Webber: Masuk Islam Ketika Islam Dituduh Ag...
- Islam di Swedia: Minat Masyarakat Terhadap Islam S...
- Maraknya Siswa Bule Masuk Islam di Sekolah Inggris
- Kisah Nyata: Ketegaran Bara’ah, Gadis Cilik Pengha...
- Rabbi Israel Stress, Banyak Remaja Yahudi Masuk Islam
- Anton Medan : Menemukan Hidayah Di Penjara
- Yudi Mulyana Mantan Pendeta Militan Cirebon
- Dian Sastrowardoyo : Dari hatiku sendiri
- Robin Padilla (Aktor Filipina) : Dari Dunia Gemerl...
- El Manik : Banyak Umat Islam Perlu Di Islamkan Lagi
- Kisah Mualaf Yang Membuat Para Muslim Menjadi Malu
- Cindy Claudia Harahap Hidayah Dari Bulan dan Bintang
- Balada Muhammad Mu'min Mencari Tuhan
- Koko liem Sang Pengembara
- Markus Sang Muallaf Sejak Kecil Sering ke Mesjid
- Thufail al Ghifari Mengenal Islam Melalui Musik Un...
- Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga
- Islam,menjawab berbagai pertanyaan dan ketidakpast...
- Apakah Nabi Muhammad saw sunat?
-
▼
Sep 17
(31)
-
▼
September
(115)